Orde Baru dan Budaya Anti Intelektual

Print Friendly, PDF & Email

Beberapa Catatan Untuk Coen Husain Pontoh

 

TULISAN ini dimaksudkan untuk menanggapi tulisan Coen Husain Pontoh berjudul Buta Huruf Marxisme yang dimuat di IndoPROGRESS pada 6 Juni 2016. Di tulisan tersebut, Pontoh mengritik kalangan demokrat yang dipandangnya tidak dapat membedakan antara Marxisme sebagai teori sosial dan Komunisme sebagai eksperimentasi sejarah yang dipraktikkan oleh Uni Soviet dan negara-negara komunis lainnya atau dikenal juga sebagai Marxisme-Leninisme. Lebih jelasnya, Pontoh menulis,

“Para demokrat kita ini, tampaknya telah gagal membedakan antara teori dan sejarah. Ketika mereka bicara tentang Marxisme, mereka secara membabi-buta mencampurardukkannya dengan eksperimen sejarah dari ideologi ini. Bahwa teori Marxis itu adalah apa yang ditunjukkan dalam sejarah itu, sehingga ketika eksperimentasi sejarah itu gagal maka teori Marxis tidak bisa lagi diandalkan sebagai seperangkat alat analisis atas peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi.”

Di paragraf selanjutnya ia menambahkan, ”[d]ari sini, kita harus mengatakan bahwa baik para jenderal dan kaum demokrat kita setali tiga uang: mereka sama-sama tidak mengetahui tentang Marxisme dan dinamika yang berkembang dalam ideologi ini.”

Di sini tampaknya Pontoh tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan dan memandang para pengritik para jenderal tersebut sebagai orang-orang yang tidak bisa membedakan antara Marxisme sebagai teori sosial dan Komunisme (Marxisme-Leninisme) sebagai eksperimentasi sejarah atas Marxisme. Saya yakin para demokrat yang dimaksud Pontoh dapat membedakan secara jelas perbedaan antara Marxisme dan Komunisme, sekalipun mereka pernah hidup di bawah pemerintahan Orde Baru, yang melarang segala kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan pemikiran Komunisme. Karena tidak sedikit dari mereka yang tetap mempelajari Marxisme dan pemikiran-pemikiran turunannya secara diam-diam. Saya juga yakin mereka dapat menilai dengan baik relevansi Marxisme sebagai teori sosial dan Komunisme sebagai eksperimentasi politik terhadap perkembangan dunia sosial hari ini.

Hingga saat ini, sebagai sebuah teori sosial, Marxisme, terutama kritiknya terhadap cara beroperasi kapitalisme, masih bisa digunakan untuk menjelaskan sebagian persoalan yang dihadapi dunia saat ini. Di berbagai jurnal kajian sosial masih ditemukan berbagai tulisan yang menggunakan pendekatan marxis untuk memahami persoalan politik dan sosial di sebuah wilayah. Bahkan, tidak saja masih bisa digunakan, Marxisme juga telah mempengaruhi lahirnya pendekatan-pendekatan dan teori-teori baru di dalam kajian sosial.

Namun, sebaliknya dengan Komunisme. Pemikiran ini, tanpa bisa disangkal, runtuh sejalan dengan tumbangnya Uni Soviet dan negara-negara komunis lainnya, khususnya di Eropa Timur. Sementara negara-negara komunis yang lain, seperti Cina, Vietnam, dan Kuba, mencoba beradaptasi dengan menerima sistem pasar dengan perbedaan derajatnya masing-masing. Banyak faktor yang bisa dilontarkan untuk menjelaskan penyebab runtuhnya Komunisme dan negara-negara komunis tersebut, mulai dari penyalahgunaan kekuasaan hingga kegagalan memberikan kesejahteraan dan jaminan keamanan insani.

Kedua, dalam kritiknya melihat rendahnya pemahaman teori-teori sosial, khususnya Marxisme, Pontoh menyatakan bahwa,

”Dalam konteks Indonesia, kebutahurufan Marisme ini merupakan sebuah produk sejarah sosial-politik… Sebagai kelanjutan dari proses konsolidasi politik pasca 1965, rezim orde baru Soeharto kemudian mengeluarkan Ketetapan MPRS XXV 1966, yang berisi larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/ Marxisme-Leninisme.”

Di sini Pontoh mereduksi penyebab persoalan tersebut adalah pelarangan seluruh aktivitas penyebaran dan pengembangan ajaran Komunisme oleh Orde Baru. Kesimpulan ini tidak sepenuhnya benar tetapi juga tidak sepenuhnya salah. Pelarangan penyebaran dan pengembangan pemikiran Komunisme memang menyebabkan pemahaman masyarakat terhadap Marxisme dan Komunisme rendah. Namun, kunci persoalannya bukan di situ melainkan di keberhasilan Orde Baru membangun budaya anti-intelektual di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dalam hal ini anti-intelektualisme dipahami sebagai sikap penolakan, ketidakpercayaan atau, bahkan, permusuhan terhadap kalangan intelektual, dan intelektualitas. Sikap ini diekspresikan dalam banyak cara, seperti perendahan terhadap kerja dan hasil kerja intelektual dan penolakan terhadap penggunaan rasio dalam mencari solusi masalah.

Budaya ini ditanamkan secara sistematis oleh Orde Baru melalui beragam cara. Pertama, mencegah dan melarang perdebatan atau pelaksanaan diskusi yang membahas isu-isu yang dianggap sensitif dan/atau membahayakan kekuasaan Orde Baru. Di sini juga termasuk pencegahan dan pelarangan memberikan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru. Peredaran buku-buku juga dibatasi hanya untuk buku-buku yang mendukung Orde Baru atau tidak menyinggung persoalan politik dan sosial yang dipandang sensitif oleh pemerintah. Aparat pemerintahan dan keamanan diaktifkan secara maksimal untuk menjalankan kebijakan ini.

Kedua, Orde Baru menanamkan budaya anti-intelektualisme ini melalui lembaga pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Budaya anti-intelektualisme ditanamkan dengan memaksakan pemahaman tunggal atas sebuah masalah dan mencegah terjadinya perdebatan atau diskusi di ruang-ruang kelas. Pihak lembaga pendidikan mulai dari birokrasi hingga pengajar menjadi agen pelaksana penanaman budaya ini.

Ketiga, anti-intelektualisme juga dikembangkan di level keluarga dengan mencegah anggota keluarga untuk berpikir kritis melalui penutupan ruang bagi kebebasan berpikir. Rasa ingin tahu dan sikap kritis atas sebuah persoalan dibungkam dengan berbagai cara. Misalnya, orang tua mengingatkan anaknya untuk tidak mempertanyakan persoalan-persoalan politik atau sosial yang sensitif. Pada masa Orde Baru juga sangat jarang ditemukan keluarga yang mendorong setiap anggota keluarga untuk menjadikan buku sebagai referensi untuk memahami atau mencari solusi persoalan. Pada masa jayanya Orde Baru pernah mengampanyekan aktivitas gemar membaca ke masyarakat. Namun, kebijakan ini bertolak belakang dengan kebijakan lainnya, seperti pembatasan dan penyensoran buku-buku yang beredar dan pembungkaman sikap kritis masyakarakat. Sehingga kampanye gemar membaca ini bisa dikatakan tidak lebih dari basa-basi saja.

Penanaman budaya anti-intelektual melalui cara-cara tadi berhasil dilakukan oleh Orde Baru. Inilah sebabnya ketika Orde Baru runtuh, keterbukaan berkembang, dan buku-buku serta informasi tersedia luas namun budaya intelektual tidak serta-merta tumbuh juga. Masyarakat enggan untuk mencari pengetahuan lewat buku. Sebaliknya, gosip, rumor, dan pernyataan elit politik dijadikan rujukan ”pengetahuan.” Informasi-informasi sensasional dan konspiratif lebih disukai karena pada saat Orde Baru berkuasa dan membelenggu kebebasan informasi, informasi-informasi bawah tanah yang tidak jelas asal-usulnya dijadikan rujukan oleh masyarakat untuk memahami persoalan politik dan sosial yang terjadi. Kebiasaan ini, lalu, terbawa terus hingga ke masa pasca Orde Baru. Inilah penyebab mengapa Marxisme dan juga pemikiran-pemikiran sosial-politik lainnya tidak berhasil dipahami secara baik oleh masyarakat luas di Indonesia ketika keterbukaan informasi dan pengetahuan melanda Indonesia, baik secara daring (online) maupun luring (offline).***

 

Penulis adalah dosen Hubungan Internasional di BINUS, University

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.